ANTRI, BUDAYA MAJU YANG TERLUPAKAN?
ANTRI,
BUDAYA MAJU YANG TERLUPAKAN?
Karyawan
dan staff perusahaan tempat saya bekerjaantri
untuk
mendapatkan sebungkus roti dan segelas air mineral
(Sumber:
dokpri)
“Please, queue”
“Mohon antri”
“Bebek saja bisa ngantri,
masa manusia nggak bisa”
Itulah beberapa kalimat
nasehat atau anjuran yang sering kita lihat di beberapa pusat perbelanjaan atau
tempat-tempat penting yang sering kita sepelekan keberadaannya. Banyaknya
kejadian kurangnya pemahaman masyarakat tentang pentingnya budaya antri mengakibatkan
menurunnya kedisiplinan.
Akhir tahun 2015 lalu,
perusahaan distribusi di Denpasar – Bali tempat saya bekerja mengadakan acara
gathering dan outbound seluruh karyawan dan staff. Kegiatan tersebut
dilaksanakan bertujuan untuk mempererat hubungan seluruh lintas divisi. Di pagi
hari, sekitar jam 08.00 WITA semua yang hadir diwajibkan untuk mengisi daftar
hadir dan mendapatkan 1 bungkus roti dan 1 gelas air mineral. Yang menarik
adalah mereka mau mengantri dengan baik tanpa ada komando sama sekali. Saya
sebagai bagian dari pimpinan perusahaan merasa bangga karena mreka mau
bertindak disiplin dan tertib hingga kegiatan tersebut berlangsung sukses pukul
15.00 WITA.
Tetapi, saya pun mempunyai
pengalaman buruk karena sering terjebak kemacetan di jalan raya saat pulang
kerja. Kondisi tersebut merupakan salah satu fenomena kurangnya budaya antri
dalam masyarakat. Di tambah lagi dengan datangnya musim penghujan dan karakter
setiap pengendara kendaraan bermotor yang berusaha untuk saling mendahului
pengendara lainnya. Meskipun jalan raya yang dilalui sangat sempit dan hampir
bersenggolan antar pengendara. Entah, apa yang mereka kejar sehingga seperti
kesetanan dalam membelah jalan raya ….
Karena saya bukanlah Valentino Rossi atau Mark Marquez, maka saya pun berusaha
untuk selalu mengalah dan mematuhi peraturan lalu lintas yang ada. Tetapi,
karena kesadaran pengendara lain yang minim, kemacetan lalu lintas sering
terjadi yang disertai dengan suara klakson kendaraan bermotor yang nyaring dan saling
bersahut-sahutan menambah suasana jalan raya semakin hiruk pikuk.
Antri memang budaya yang sepele
sering terlupakan dan kebiasaan yang sangat sulit dilakukan oleh
masyarakat kita. Kalau pun dilakukan harus ada teguran keras, anjuran, atau
rambu-rambu yang menandakan kita wajib antri.
Kalau boleh jujur, saya kadangkala iri
dengan dengan budaya negara lain yang begitu tertib dalam segala kegiatannya. Mereka
tidak perlu dipaksa-paksa atau kesadaran sendiri melakukan budaya antri. Mereka
sangat memahami bahwa dengan antri segala sesuatunya akan berakhir baik. Jangan
heran jika lambat laun pelayanan masyarakat di beberapa negara lain menggunakan
mesin otomatis atau self service dan
berjalan dengan baik.
Perlu digarisbawahi bahwa
saya bukanlah mendewa-dewakan negara lain bahwa lebih baik dibandingkan dengan
negeri kita tercinta. Saya tetap mencintai Indonesia yang penduduknya ramah
tamah dan pesona budaya yang tiada tanding.
Kekurangannya adalah hanya pada menegakkan sebuah kebiasaan sepele yang
sebenarnya memberikan dampak yang luar biasa demi kemajuan bangsa.
Masyarakat kita pun bisa
tertib dan menegakkan budaya antri, tetapi secara mayoritas pada forum-forum
yang bersifat resmi. Atau dengan kata lain yang dilakukan dengan sebuah aturan
atau Standar
Operational Procedure (SOP) yang telah berjalan, sebagai contoh: menghadiri
perkawinan, menunggu gaji, dan lain-lain. Tetapi pada kegiatan-kegiatan yang
sifatnya umum, masyarakat kita kadangkala melupakan budaya antri.
Pernahkan kita pahami
bahwa, menyepelekan budaya antri akan menurunkan jiwa solidaritas antar
masyarakat. Terpenting, akan menghambat proses perubahan. Kita sering lihat
masyarakat yang baku hantam karena berebut untuk mendapatkan tiket pulang
kampung saat hari raya.
Kita percaya bahwa negara
kita ingin menjadi negara yang maju seperti negara lain, tetapi selama budaya
antri tidak menjadi sebuah good habit,
maka kita akan selalu tertinggal dengan negara lain. Negara lain sudah berlari
kencang untuk melakukan penelitian dalam rangka pembuatan robot cerdas atau penemuan
planet baru. Tetapi, kita masih disibukkan dengan berita kurangnya budaya antri
yang menyebabkan kematian orang lain.
Kita sering melihat berita
di media atau mengalami sendiri bagaimana kisruhnya masyarakat yang tidak
“sabaran” dalam mengantri untuk mendapatkan daging Qurban. Apa yang terjad? Kurangnya
kesadaran mengantri membuat banyak orang yang terinjak-injak, bahkan ada yang meninggal
dunia.
Masyarakat berjubel menunggu jatah
pembagiandaging qurban di
sebuah masjid Denpasar
- Bali(Sumber:
dokpri)
Bagi masyarakat yang
tinggal di Kota Jakarta, bagaimana rasanya saat dorong-dorongan dan saling
berebut untuk masuk bis Trans Jakarta atau Kereta Commuter Line demi
mendapatkan tempat duduk? Sungguh, luar biasa. Ketika saya masih kerja di Kota
Jakarta, saya pernah mengalaminya bagaimana saya disikut orang lain gara-gara
rebutan tempat duduk. Bahkan, badan saya hampir tergencet di pintu masuk kereta
api jurusan Jakarta Kota - Bekasi pernah dialaminya.
Oleh sebab itu, budaya
antri perlu diajarkan orang tua kepada anak-anaknya. Tetapi, justru orang
tualah yang mengajari anaknya untuk berbuat curang. Saya sering lihat bagaimana
orang tua mengajari anaknya untuk berbuat curang dengan menyerobot antrian orang
lain seperti mengantri sembako, daging Qurban atau air minum.
“Nak, kamu berdiri saja di barisan
depan sono biar cepet dapat. Lagian, kalau kamu yang menyerobot antrian gak
bakalan dimarahi orang tua kok!”. Begitu kalimat yang sering
terlontar orang tua terhadap anak kecilnya.
Tetapi, perlu kita ketahui
bahwa dengan ajaran yang jelek tersebut, kita secara tidak sengaja telah
memberikan pembelajaran terburuk terhadap generasi kita. Anak-anak kita akan
terbiasa melakukan aksi serobot dalam sebuah antrian. Kita tidak merasakan
bagaimana rasanya mereka yang telah datang lebih awal dan meluangkan waktunya
untuk antri lebih awal, tetapi tiba-tiba diserobot orang lain.
Antrian yang semrawut para pelanggan
untukmengambil hadiah di
sebuah pusat
perbelanjaandi Denpasar- Bali (Sumber: dokpri)
Menyerobot antrian orang
lain tidak ada bedanya saat kita berkendara motor dan berhenti di sebuah
perempatan jalan raya menunggu lampu lalu lintas warna hijau menyala. Ketika,
lampu lalu lintas menunjukan hijau kita tentu telah bersiap-siap untuk menambah
kecepatan kendaraan bermotornya. Tetapi, tidak di sangka dari arah yang
berlawanan muncul kendaraan lain secara tiba-tiba memotong perjalanan kita.
Tabrakan pun tidak terhindarkan bukan?
Sama halnya saat kita
menyerobot antrian, orang lain telah bersiap-siap untuk mendapatkan haknya,
tetapi tanpa disangka diserobot orang lain. Adu mulut dan main fisik tentunya
tidak bisa terhindarkan karena kita telah melakukan pelanggaran etika dan
mengambil hak orang lain. Padahal, mengambil hak orang lain sama halnya telah
berbuat kejahatan korupsi. Anda tahu bukan, bagaimana tindakan korupsi telah
menghancurleburkan tatanan kehidupan kita?
Jadi, kalau kita ingin berubah menjadi negara
yang maju dalam segala sektor, perlu adanya perubahan dalam memperbaiki budaya masyarakat
yang sering kita sepelekan yaitu: antri. Betapa hebatnya negera Jepang dalam
ilmu dan teknologi. Mereka berawal dari sebuah kedisiplinan. Antri adalah
sebuah keharusan. Bahkan, hanya untuk membeli membeli ikan pasar pun mereka
sangat paham untuk antri.
Para kompasianer mau ngantri untuk
mengisiPendaftaran di acara
Community
gathering Kompasiana di Hotel Discovery Ancol,
Jakarta (Sumber: dokpri)
Ingat, budaya antri akan
membuat setiap masalah menjadi mudah. Antri akan menjadikan masyarakat kita
mempunyai jiwa disiplin. Dan, kedisiplinan adalah modal dasar untuk menjadi negara
maju. Perubahan memang harus dipaksakan dan dilakukan. Dalam pepatah Jawa “PIL
KANSA” atau “Pilihane sungkan-sungkan dipaksa” (Pilihannya malas-malas
dipaksa). Mau berubah lebih maju, budayakan antri!
Tag:
Antri
BudayauntukPerubahan
NegaraMaju
3 comments for "ANTRI, BUDAYA MAJU YANG TERLUPAKAN?"
"