Cerita Pendek (Cerpen) dari Kota Semarang
Senyum Pak Jurli
Oleh Casmudi
Hari mulai menjelang pagi. Suara kokok
ayam mulai bunyi bersahut-sahutan. Udara masih terasa dingin karena semalam
Kota Semarang diguyur hujan deras. Maklum, saat ini cuaca yang tidak menentu.
Kadang siang terasa panas menyengat, tetapi sore hari cuaca mulai mendung dan gelap. Dan tidak terasa
hujan pun turun dengan derasnya. Syukur, pagi hari ini udara begitu tenang dan
cerah.
“Semoga
hari ini banyak rejeki buat keluarga kami, ya Allah” bisik Pak Jurli
dalam hati.
Pak Jurli selalu menyempatkan untuk
membangunkan anak dan istrinya untuk sholat shubuh berjamaah. Istrinya pun
dengan setia menemani hari-harinya. Istri yang sabar dan narimo ing pandum. Dan,
kalimat-kalimat yang keluar dari istrinya selalu memberikan spirit untuk hidup
dan membesarkan anak semata wayangnya. Setiap habis sholat Shubuh berjamaah
selalu menyempatkan waktu sebentar untuk
mengeluarkan unek-uneknya.
“Pak,
kemarin Andi bilang katanya ditegur sama gurunya, suruh beli baju yang
baru karena baju yang dipakai sekarang sudah
usang dan sobek kecil bagian belakang” kata istrinya, Bu Darsih pada Pak
Jurli.
“Memangnya
berapa harga bajunya, bu?” jawab Pak Jurli sambil menatap tajam dua orang yang
disayanginya. Kalimat yang diucapkan oleh istrinya barusan membuat hatinya
begitu trenyuh. Terasa bagai sembilu
yang menyayat hati tak berkesudahan. Pak Jurli sebenarnya sudah tahu kondisi
anaknya, tetapi ia merasa belum mampu untuk membelinya. Makanya, perasaan
tersebut selalu simpan dalam hati. Ia berharap kalau ada rejeki lebih, ingin
memberi kejutan tanpa sepengetahuan anak dan istrinya. Tetapi, sampai detik ini
belum mampu mewujudkannya.
Dan, kali ini ia tahan air matanya untuk
keluar di hadapan anak dan istrinya. Terdiam sejenak untuk mencari jalan
terbaik mengatasi masalah yang baru dilontarkan oleh istrinya. Keheningan
menyelimuti tiga sosok manusia yang habis melantunkan doa sebagai bakti terbaik
kepada sang pencipta.
Bu Darsih sebenarnya tidak tega untuk
mengucapkan berapa harga baju yang harus dibeli untuk kebutuhan sekolah
anaknya. Karena ia percaya, akan menjadi pikiran suami karena belum mampu untuk membelinya. Baju sekolah yang
sudah usang dan robek kecil di bagian belakang merupakan pemberian dan belas
kasihan tetangganya. Dan, baju tersebut sudah dipakai hampir 3 tahun lamanya.
Sebenarnya, Pak Jurli dan Bu Darsih
tidak ada niat sedikit pun untuk menyekolahkan anaknya. Mereka berharap agar
anaknya bisa melanjutkan regenerasi menjual es goyang seperti dirinya. Tetapi,
karena kemauan keras dan kecerdasan anaknya membuat niat tersebut berubah tiga
ratus enam puluh derajat.
“Delapan
puluh ribu rupiah pak” akhirnya istrinya memberanikan diri untuk mengatakan
harga baju setelah berbulan-bulan ia pendam di hadapan suaminya. Andi, sang
anak yang berada di depan Pak Jurli dan di belakang Bu Darsih hanya diam
tertunduk.
“Bapak
nggih pengin beli baju buat Andi. Tapi, bapak belum ada uang dan harus rajin
ngumpulin uang hasil jualan es goyang. Semoga hari ini rejeki berlimpah dan es
goyang habis terjual. Doakan ya bu, Andi” senyumnya yang tulus membuat
istri dan anaknya pun ikut tersenyum.
“Insya
Allah pak” Bu Darsih menjawab dengan senyuman sambil mengelus-elus rambut
anak semata wayangnya. Wajah sang anak yang dirindukan puluhan tahun dan kini
merupakan tanggung jawab ditatapnya tajam-tajam. Tidak terasa linangan air mata
pun menetes untuk memberi harapan masa depan anaknya. Dicium dan dipeluk
anaknya. Pak Jurli hanya termenung dan tertegun tanpa mengeluarkan sepatah
katapun.
“Nak,
engkau adalah anugerah Allah yang luar biasa buat Bapak dan Ibu. Ibu harap kamu
sabar ya. Nanti kalau ada rejeki, Bapak akan belikan baju sekolah baru buat
kamu agar tidak malu lagi sama teman-temanmu. Jangan lupa ibadah dan berdoa
ya!” Ditatapnya kembali wajah anaknya. Banyak harapan yang tersimpan untuk
anaknya.
“Semoga
kamu menjadi anak yang berbakti dan bisa merubah ekonomi keluarga nak. Biarpun
ekonomi pas-pasan, Tetapi, kasih sayang kami padamu dan Allah bagai luasnya
samudera yang tiada bertepi!” bisiknya dalam hati.
===================
@@@@@@@@@@===============
Seperti hari-hari sebelumnya, Pak Jurli dengan
bantuan Bu Darsih harus mempersiapkan perlengkapan mencari sesuap nasi buat
keluarganya. Jualan es goyang merupakan keahlian satu-satunya yang diturunkan
dari kakeknya. Untuk mencari usaha lain sepertinya tidak mampu dan bukan
ahlinya. Apalagi usia yang menginjak kepala lima selalu diselimuti dengan
berbagai penyakit. Rasa cape, nyeri, kepala pusing, dan lain-lain. Tetapi,
rintangan yang ada selalu ditepisnya buat memenuhi kebutuhan keluarga.
Penghasilan berjualan es goyang pun
tidak bisa dipastikan. Kalau barang dagangan habis semua, ia hanya bisa
menyisihkan dua puluh ribu rupiah bersih untuk kebutuhan sehari-hari. Sisanya
untuk belanja keperluan membuat es
goyang. Ya, es goyang yang dulu merupakan dagangan yang sangat digemari banyak
orang, kini mulai ditinggalkan. Seiring dengan munculnya es krim yang lebih
modern, kharisma es goyang mulai tidak menarik.
Bagaimanapun, Pak Jurli tetap berusaha
untuk mencari rejeki dari berjualan es goyang tersebut. Setiap menjelang
shubuh, ia selalu membangunkan anak semata wayangnya yang masih duduk di kelas 3
SMP. Sungguh malang Pak Jurli, Tuhan memberinya anugerah seorang anak setelah
menginjak usia 35 tahun atau 10 tahun usia perkawinan. Ia begitu sabar
mendambakan seorang anak dan kini ia harus membanting tulang untuk memberikan
perhatian yang terbaik buat anak meskipun ekonomi pas-pasan.
Sayangnya, Pak Jurli belum mampu untuk
memberikan terbaik buat anaknya. Dengan penghasilan yang ada, ia dan istrinya
hanya mampu untuk makan seadanya. Ia pun tidak mampu untuk memberikan uang saku
kepada anaknya sebagai uang jajan. Kadang, tanpa terasa ia hanya meneteskan air
mata tatkala melihat betapa perjuangan anaknya untuk bersekolah. Tetapi, air
mata tersebut selalu dihapusnya. Malu, jika dilihat anak dan istrinya. Karena,
seorang laki-laki pantang untuk menangis dalam menghadapi kenyataan hidup.
Rumah kecil dan sederhana yang ditinggali
berada bukan di deretan depan jalan Pecinan, melainkan harus masuk ke dalam
lagi melewati gang sempit merupakan tempat tinggal yang istimewa. Rumah yang
merupakan peninggalan kakeknya kini nampak reot berdinding papan kayu yang
telah dimakan rayap di berbagai sudutnya. Tiang depan rumah pun mulai miring
karena termakan jaman.
Setiap hari, Pak Jurli harus berjalan
kaki untuk menjajakan dagangannya dari rumah yang sederhana di kawasan Jalan
Pecinan menuju kawasan sekitar Gereja Blenduk dan Stasiun Tawang Semarang.
Kalau rejeki belum berpihak padanya, maka area jualan es goyang akan diperluas
lagi hingga mendekati kawasan Simpang Lima. Sepanjang jalan, ia tiada henti
membunyikan lonceng kecil untuk menarik perhatian para pembeli.
Sesekali pembeli melambaikan tangannya
untuk menghentikan langkah Pak Jurli. Dan, di situlah pertanda rejeki mulai
mengalir. Ia pun berharap hari ini, banyak orang yang mau menghentikan
langkahnya untuk menikmati es goyang racikannya. Timbullah bayang-bayang baju
sekolah anaknya berganti menjadi baru.
Tetapi, hingga jam 5 sore, hanya 15
orang yang mau menghentikan langkah kakinya. Ia menghentikan langkahnya ketika
berada di samping timur Gereja Blenduk. Bangunan tua bergaya kolonial yang
indah berselimut warna putih, dengan empat tiang kokoh di depannya dan kubah
warna merah bata berlapiskan perunggu selalu menjadi tempat idaman untuk
menghilangkan rasa penat sehabis menjajakan dagangan. Apalagi jika hari minggu,
Pak Jurli berharap banyak jemaat Gereja yang mau menghampiri untuk membeli es
goyangnya. Sungguh, harapan yang selalu pupus di tengah jalan. Karena barang
dagangan yang ia jajakan hanya menjadi pemanis jalanan, tak direspon sama
sekali karena kurang menarik perhatian.
Sore hari beranjak petang, debu yang
beterbangan dan asap knalpot dari kendaraan yang hilir mudik tidak dihiraukan.
Pak Jurli hanya ingin menenangkan pikiran dan menghilangkan rasa cape. Dilihatnya
laci tempat menyimpan uang hasil jualan. Hanya 17 lembar uang ribuan yang bisa
didapat. Pikirannya pun terus terbayang tentang apa yang dikatakan oleh
istrinya sehabis sholat shubuh mengenai baju sekolah baru uantuk anaknya yang
semata wayang, Andi.
“Ya
Allah, jika Engkau mengharapkan rejeki hambaMU hanya sampai di sini saja, saya
akan terima dengan senang hati. Tetapi, hamba minta jangan surutkan niat hamba
untuk mengingatMU dalam ibadahku” pikirannya mulai berkecamuk tentang
wajah istri dan anak yang disayanginya. Ingin rasanya membahagiakan mereka,
tetapi sampai umur kepala lima belum kesampaian.
Saat diam termenung, sebuah taksi
berkecepatan tinggi dari arah barat bergerak mendekati. Tanpa sadar, taksi
tersebut menabrak barang dagangan Pak Jurli. Untung, Pak Jurli dengan gerakan
reflek menghindari taksi yang hampir menabraknya. Anehnya, taksi tersebut
justru terus bergerak cepat menuju arah Stasiun Tawang. Dengan jelas, ia
melihat sebuah tas terlempar dari dalam taksi melalui kaca yang telah
dipecahkan, jatuh ke dalam got pinggir jalan yang tidak jauh dari tempat ia
beristirahat. Keadaan sekelilingnya pun sepi. Selanjutnya, taksi pun masih
tetap berjalan cepat menjauhinya.
Pak
Jurli semakin kaget, ada apa gerangan dengan taksi tersebut? Ingin rasanya
ia mengeluarkan umpatan bagi sopir taksi yang telah menabrak barang dagangannya
dan meminta ganti rugi. Tetapi, tak mampu karena taksi dengan kecepatan tinggi
semakin meninggalkan dirinya menembus gelapnya malam menjelang maghrib. Rasanya
Pak Jurli hampir menangis melihat kondisi barang dagangan yang berserakan tidak
beraturan dan gerobak dorong pun penyok parah tak berbentuk.
“Alhamdulillah,
saya masih selamat. Tetapi, apa yang harus saya katakan pada istri dan anak saya.
Dengan apa lagi saya bisa mencari rejeki” ujar Pak Jurli memunguti apa
yang bisa didapat. Uang hasil jualan pun hanya bisa ditemukan 6 lembar ribuan.
Yang lainnya hilang entah ke mana? Tak ada satu pun orang yang bisa menolong
karena kondisi memang sepi.
Pak Jurli hanya meratapi kondisi yang telah
terjadi. Dengan sekuat tenaga, ia harus menarik gerobak jualannya yang sudah
tak berbentuk dan ditaruh begitu saja di belakang Gereja Blenduk. Gerobak es
goyang ditinggalkan begitu saja berselimut garam dan es goyang yang masih berserakan.
Pak Jurli memandangnya begitu tajam wujud gerobak jualannya. Dan, sesekali
melihat uang hasil jualannya enam ribu rupiah yang ada di genggamannya. Hatinya
sungguh teriris. Dengan terpaksa ia harus pulang ke rumah dalam keadaan berjalan
kaki tanpa ditemani gerobak es goyang.
Tetapi, belum sempat kakinya melangkah
pulang, Pak Jurli baru ingat akan tas hitam yang terlempar keluar dari taksi
yang hampir menabraknya. Ia mencoba menyusuri got yang tidak jauh dari tempat
ia beristirahat tadi. Ia berusaha tidak berkedip
melihat apa yang ada di got yang telah mengering dan berselimutkan rerumputan.
Setelah hampir satu jam menyusuri got tersebut, Pak Jurli kaget bahwa sebuah
tas jinjing berwarna hitam ada dihadapannya. Dibalik sorot lampu penerangan
jalan yang agak temaram membuat Pak Jurli sungguh kaget. Tumpukan surat penting
dan 2 gepok uang dalam bentuk dollar Amerika dan ratusan lembar uang seratus
ribu rupiah berada di antara tumpukan surat. Pikiran Pak Jurli pun gelisah,
siapa empunya tas ini?
“Sungguh,
ini bukan barang saya. Saya harus mengembalikan siapa pemiliknya. Jadi, apakah
barang milik orang yang ada di taksi tadi. Tapi, mengapa harus dibuang? Saya
harus simpan baik-baik dan mencari siapa tahu ada alamat yang bisa didatangi
atau nomor telepon yang bisa dihubungi” pikirannya. Ia
pun bergegas pulang ke rumah menembus kegelapan malam setelah membungkus tas
hitam dengan kantong kresek yang diperolehnya di got tadi. Dan, terpenting
harus menceritakan semua kejadian yang dialaminya hari ini kepada anak dan
istrinya.
=======================@@@@@@@@@======================
“Ya
sudah pak, mungkin sudah rejeki kita. Bapak tidak usah terlalu memikirkan
gerobak yang rusak. Mungkin bapak bisa mencari kerja serabutan untuk memenuhi
kebutuhan kita. Yang sabar ya pak. Tetapi, dengar-dengar kemarin ada berita
dari tetangga yang mempunyai televisi katanya
ada perampokan di taksi sekitar Kota Lama. Katanya sih orangnya luka-luka dan
dibawa ke RS Telogorejo. Kasihan ya, semoga tidak terjadi apa-apa karena
niatnya menyelamatkan surat-surat penting dan uang milik bosnya yang orang
bule” kata
Bu Darsih saat sehabis sholat shubuh.
“Aamiin.
Andi, kamu sekalian mandi dulu ya. Jangan lupa PR nya dikerjakan” tangan
kasarnya mengelus rambut anaknya dengan sayang.
“Ya,
pak” jawab Andi sambil mencium tangan ayahnya yang kasar dan menghitam.
“Bu, masih ingat tentang tas hitam yang bapak
ceritakan semalam?” tanya Pak Jurli kepada istrinya yang masih duduk di
depannya.
“Oh
iya pak, jangan-jangan tas itu milik bapak yang luka-luka itu. Ayo, kita lihat
isi tasnya. Jika ada nomor telepon atau alamat yang bisa didatangi, kita wajib
mengembalikan barang tersebut dalam keadaan tidak kurang sesuatu apapun” jawab
Bu Darsih meyakinkan suaminya.
Diambilnya kembali tas jinjing berwarna
hitam dan dibuka satu persatu setiap saku tas yang ada. Mereka berharap ada
petunjuk yang bisa dipecahkan. Tetapi tidak ketemu. Dua gepok uang yang
bernilai setara 10 milyar benar-benar menggoda dua insan tersebut. Surat-surat
penting yang berisi tenang presentasi proyek sungguh dibutuhkan oleh sang
empunya. Di saat sedang membuka satu per satu petunjuk alamat di antara surat
penting, terdapat sebuah kartu nama berwarna biru muda.
“Pak,
mungkin ini nomor telepon dan alamat yang punya” kata Bu Darsih kepada
suaminya.
“Alhamdulillah,
akhirnya ada petunjuk buat kita ya bu. Kasihan yang punya ini. Coba kalau kita
yang punya pasti stress juga ya bu” jawab Pak Jurli kepada istrinya.
Ya, kartu nama yang menunjukan alamat
sebuah hotel prestigius di kawasan Simpang Lima Kota Semarang memberikan
pertanda bahwa dialah yang mempunyai tas hitam tersebut.
“Bu,
kita harus secepatnya menuju hotel yang ada di kartu nama ini. Agar tidak
menarik perhatian orang, maka tas hitam tersebut dibungkus kantong kresek dan
dimasukkan ke dalam tas belanjaan yang ditutupi sayur-sayuran. Semoga kita bisa
menmukan orangnya ya bu”
“Ya,
pak. Semoga kita bisa menemukan orangnya” jawab Bu Darsih sambil
mempersiapkan perlengkapan yang disarankan oleh suaminya.
==================@@@@@@@@@@@@@==================
Perjalanan menuju Hotel …
Pak Jurli dan Bu Darsih menyempatkan
bertanya pada satpam yang sedang bertugas di Hotel sesuai alamat yang dituju
sambil menyodorkan kartu nama biru muda yang ada di tas jinjing hitam
temuannya.
“Mas,
nyuwun sewu. Saya mau bertanya, apakah alamat orang yang ada di kartu nama ada di sini” Pak Jurli bertanya sambil
berharap keajaiban.
Dilihatnya nama yang ada di kartu nama.
Satpam tersebut sangat kaget.
“Ini
kan kartu nama pak Budiman pemilik hotel ini. Maaf, ada perlu apa bapak dan ibu
datang kemari”
tanya satpam penasaran.
“Kalau
benar itu adalah nama orang yang ada di kartu nama tersebut, sudilah kiranya
saya bertemu orangnya dan mau mengembalikan barang yang kami temukan di kota
lama kemarin, tepatnya di sebelah timur Gereja Blenduk mas” jawab Pak Jurli
meyakinkan satpam yang masih kebingungan.
“Subhanallah,
kebetulan barusan pak bos menjemput temannya yang sudah operasi dan sembuh
karena menjadi korban perampokan surat-surat penting dan uang di kota lama
kemarin. Alhamdulillah, kebetulan beliau ada di lantai 5. Mari pak saya antar
…” jawab satpam yang mulai yakin di antara perasaan bingung, karena rasanya
seperti mimpi.
Pak Jurli dan Bu Darsih pun mengikuti
langkah satpam yang mengantarnya hingga lantai 5 hotel di mana sebuah rapat
penting sedang berlangsung. Pak Jurli dan Bu Darsih hanya kebingungan. Karena,
seumur hidup baru merasakan naik lift yang bisa berjalan sendiri. Ketika
mendekati sebuah ruangan rapat, sayup-sayup terdengar sebuah suara peserta rapat.
“Bapak-bapak
dan ibu-ibu, saat ini kita sedang berduka, Teman kita baru mengalami musibah
perampokan dan Alhamdulillah selamat dan sembuh di hadapan kita sekarang.
Namun, surat-surat penting serta uang yang berguna untuk membayar karyawan
hilang entah ke mana. Oke, uang bisa dicari lagi, tetapi surat-surat penting
dan soft file presentasi itu telah menghancurkan rencana presentasi mega proyek
tender ekspor bernilai ratusan milyar telah hilang. Sementara presentasi proyek
di hadapan pengusaha Belanda akan diadakan besok pagi. Kita hanya berharap
keajaiban …”
Saat kebingungan melanda peserta rapat, satpam
yang membawa Pak Jurli dan Bu Darsih mengetuk pintu ruangan. Peserta rapat pun
kaget dan semua menaruh pandangan ke arah pintu. Selanjutnya, salah satu
peserta rapat membukakan pintu yang terkunci tersebut.
“Maaf
bapak, ada yang mau bertemu dengan bapak Budiman” tanya satpam.
“Siapa
gerangan?” jawab bapak peserta rapat yang ternyata bernama bapak Zandi.
“Ini
pak orangnya, Bapak Jurli dan Ibu Darsih” jawab satpam kembali sambil
mendekatkan Pak Jurli dan Bu Darsih di hadapan pak Zandi.
Pak Zandi kaget bukan kepalang, karena
sosok yang mau bertemu bosnya yang Direktur Utama Ekspor impor dan pengusaha
hotel bukan sosok yang berpenampilan necis dan menawan tetapi sosok bapak yang
hanya beralaskan sandal jepit dan memakai kemeja warna coklat bergambar
Werkudara dan yang satunya lagi seorang ibu yang berpenampilan ala orang desa
dan membawa tas belanjaan berisi sayur-sayuran.
“Apa
benar Bapak dan Ibu mau bertemu dengan bapak Budiman?” Tanya pak Zandi
masih nampak tidak percaya.
“Benar
pak, ini kartu nama yang diberikan bapak dan ibu ini kepada saya. Kata bapak
dan ibu ini, kartu nama yang bapak pegang terselip di antara surat-surat
penting dan tumpukan uang yang ada di tas jinjing warna hitam yang ditemukan di
kota lama” kata satpam sambil menyodorkan kartu nama berwarna biru muda
kepada pak Zandi.
“Oh
ya, Subhanallah. Apakah ini mimpi?” suara keras pak Zandi menimbulkan rasa
penasaran peserta rapat lainnya.
Bapak Budiman yang sedang berdiskusi
dengan temannya pun akhirnya bertanya pak Zandi.
“Ada
apa pak Zandi? Ada masalah?” Tanya pak Budiman, sang Direktur Utama.
“Tidak
ada apa-apa pak. Justru hari ini ada keajaiban” jawab pak Zandi sambil
mengajak Pak Jurli dan Bu Darsih ke dalam ruangan rapat. Sementara, satpam
dipersilahkan pak Zandi untuk kembali bertugas.
“Oh
ya” hampir semua peserta rapat bicara berbarengan.
“Bapak-bapak
dan ibu-ibu, ini Bapak Jurli dan Bu Darsih yang menyelamatkan bisnis kita. Tas
jinjing berwarna hitam yang dibawa oleh pak Rahim bersama Mr. Schultz ketika
dari Bandara Ahmad Yani ternyata dirampok dan pak Rahim bersama Mr. Schultz dibawa
paksa dimasukkan ke dalam taksi oleh seorang perampok di kawasan Kota Lama bisa
ditemukan” jawab pak Zandi meyakinkan peserta rapat.
Pak Jurli dan Bu Darsih sangat gugup di
antara peserta rapat yang berpenampilan necis. Dengan gemetar, mereka
menyerahkan tas jinjing warna hitam tersebut kepada pak Budiman. Selanjutnya,
pak Rahim yang mengalami musibah perampokan kemarin disuruh untuk mengecek
semua isi yang ada dalam tas jinjing warna hitam tersebut.
“Subhanallah
Bapak Budiman, isinya tidak kurang sama sekali. Semua berkas presentasi besok
tidak ada yang hilang” bisik pak Rahim pada telinga pak Budiman.
“Bapak
Jurli dan Bu Darsih, kalau boleh tahu bisa ceritakan kepada kami bagaimana
Bapak dan Ibu bisa menemukan tas ini” tanya pak Budiman.
Pak Jurli pun menceritakan awal kejadian
hingga ia menemukan tas hitam penyelamat bisnis pak Budiman tersebut. Semua
peserta rapat dibuat keheranan. Mereka masih tidak percaya, mana mungkin
surat-surat penting, soft file presentasi proyek dan uang puluhan milyar bisa
selamat dalam pelukan orang sederhana macam Pak Jurli dan Bu Darsih.
“Tuan-tuan,
kami mohon pamit. Tugas kami telah selesai. Matur nuwun” kata Pak Jurli dan
Bu Darsih minta ijin untuk pulang.
“Sebentar-sebentar
pak, kami ada ucapan terima kasih buat bapak dan ibu” jawab pak Budiman
sambil menyerahkan amplop yang berisi uang.
“Maaf
bapak dan ibu, membantu adalah tugas sesama manusia. Saya merasakan betapa
sedihnya jika barang tersebut punya
saya. Kami mohon pamit. Mari” jawab Pak Jurli.
“Baik.
Kalau kemauan bapak dan ibu begitu, saya minta maaf dan terima kasih yang
sedalam-dalamnya atas kebaikan dan kejujurannya. Tetapi, kalau berkenan, tolong
berikan alamat rumah Bapak dan Ibu” rayu pak Budiman.
Karena Bapak Jurli dan Bu Darsih tidak
lancar menulis, maka pak Budiman akhirnya mencatat alamat rumah yang diucapkan
oleh Pak Jurli.
“Matur
nuwun, Terima kasih banyak atas kebaikan Bapak dan Ibu” jawab pak Budiman
yang diselingi dengan senyum dan berusaha merangkul pak Jurli.
Seisi ruangan rapat hanya diam membisu,
khususnya pak Budiman. Ia masih tidak percaya akan apa yang barusan dialaminya.
Pak Budiman tetap terbayang betapa jujurnya Pak Jurli. Terlebih lagi, ia masih
penasaran sosok Pak Jurli yang telah menyelamatkan bisnisnya. Ia pun menyuruh
karyawannya untuk membuntuti tempat tinggal
Pak Jurli dan Bu Darsih karena alamat yang dikasih oleh Pak Jurli terasa
kurang jelas. Ia memberikan intruksi kepada karyawannya, jika sudah jelas
alamatnya akan segera meluncur ke tempat tinggalnya. Dan memberikan tenggat
waktu kurang lebih dua jam informasi alamat Pak Jurli dan Bu Darsih harus bisa
diterima dengan baik.
Dua jam kemudian, rapat yang membahas
tentang presentasi proyek besok pagi telah selesai. Tidak terasa telepon milik
pak Budiman pun berdering.
“Tuan,
alamat Pak Jurli dan Bu Darsih telah saya temukan yaitu di jalan Pecinan gang
Perombok VII No. 5. Rumahnya kecil sekali berdinding kayu yang sudah lapuk dan
salah satu tiangnya mau roboh” Suara nun jauh di sana melaporkan.
Suara yang datang dari karyawannya pun
menerangkan dengan jelas akses untuk menuju ke rumah pak Jurli dan Bu Darsih.
Sampai pak Budiman paham betul letak tempat tinggal Pak Jurli dan Bu Darsih.
“Baik,
kamu pulang ke kantor segera. Saya bersama pak Zandi dan Pak Rahim akan
mendatangi rumahnya” jawab pak Budiman dengan mantap.
=======================@@@@@@@@@@@====================
“Tok, tok, tok“ suara ketokan pintu
mengagetkan Pak Jurli dan Bu Darsih sehabis sholat Ashar.
“Siapa
gerangan yang datang sore hari ini. Apakah tetangga sebelah ingin memberikan
baju baru buat Andi?” pikir pak Jurli penuh harap. Bu Darsih yang mengikuti pak Jurli pun
penasaran siapa yang datang sore hari itu. Sementara, Andi sedang serius belajar di kamar sendiri yang disekat dengan bekas
spanduk Pilkada.
Setelah pintu terbuka, betapa kagetnya
Pak Jurli dan Bu Darsih tentang kedatangan Pak Budiman, Pak Rahim dan Pak
Zandi.
“Assalamu’alaikum
Pak Jurli dan Bu Darsih, maaf jika kedatangan kami sangat mengagetkanmu” kata
Pak Jurli dengan sedikit mengangguk sebagai tanda hormat.
“Wa’alaikum
salam Tuan. Maaf, apa ada masalah dengan tas hitam yang kami berikan tadi.
Apakah, ada yang hilang tuan. Kalau ada yang hilang, maafkan kami tuan, Demi
Allah kami benar-benar tidak mengambilnya sepeser pun. Itu bukan hak kami.
Jangan laporkan kami Tuan!” jawab Pak Jurli sambil meneteskan air mata dan
bersimpuh di hadapan pak Jurli.
Pak Budiman semakin kaget, karena Pak
Jurli dan Bu Darsih menyangka bahwa isi tas hitamnya kurang dan akan
mengadukannya ke Polisi. Matanya pun tanpa terasa berkaca-kaca tak menyangka
atas kebaikan Pak Jurli. Bu Darsih yang ada di belakang Pak Jurli pun ikut
ketakutan.
“Maafkan
suami saya Tuan jika isi tasnya ada yang kurang” jawab Bu Darsih.
Pak Budiman pun semakin trenyuh hatinya
melihat pemandangan di depannya. Diraihnya badan pak Jurli yang masih posisi
bersimpuh agar mampu berdiri.
“Bukan
itu pak Jurli maksud kedatangan kami ke mari. Justru kami masih penasaran ingin
memberikan rasa terima kasih ini kepada Pak Jurli dan Bu Darsih” diambilnya
amplop yang berisi uang dua kali banyaknya dibandingkan saat diberikan di
kantornya kepada Pak Jurli.
Dengan perasaan mantap dan tak
tergoyahkan seperti saat di kantor rapat pak Budiman, Pak Jurli pun menolak
tawaran pemberian amplopnya.
“Maafkan
kami Tuan. Kami tak bisa menerima pemberian Tuan. Karena membantu adalah tugas sesama
manusia” jawab pak Jurli mantap sambil menatap tajam wajah pak Budiman.
Maksud untuk memberikan rasa terima
kasih gagal untuk kedua kalinya bagi pak Budiman. Ia pun mencari celah agar
bisa memberikan rasa terima kasihnya tanpa menyinggung perasaan jujurnya Pak
Jurli dan Bu Darsih. Tanpa disengaja, pandangannya pun tertuju pada Andi yang
sedang serius belajar. Dari tadi memang Andi tidak mau diganggu dengan kejadian
yang menimpa orang tuanya karena harus belajar menghadapi ujian sekolah.
“Baik
Pak Jurli dan Bu Darsih. Mau tanya sedikit boleh? Kalau boleh tahu yang sedang
belajar apakah anak Pak Jurli? ” Tanya pak Budiman.
“Betul
Tuan. Anak kami satu-satunya”
“Kelas
berapa pak?”tanya
pak Budiman kembali.
“Kelas
3 SMP Tuan. Tetapi, rencananya akan ikut bekerja kalau sudah lulus SMP untuk
membantu saya jualan es goyang pak” jawab Pak Jurli mantap.
“Mengapa
Pak Jurli? Sekolah kan penting?’
“Kami
tidak punya biaya Tuan. Baju sekolah yang baru untuk anakku saja kami tidak
mampu membelinya. Apalagi gerobak kami hancur ditabrak taksi waktu menemukan
tas hitam kemarin” jawab Pak Jurli sambil menundukkan kepala.
“Pak
Jurli dan Bu Darsih, bisa diajak kesini anaknya?” rayu pak Budiman.
“Baik
Tuan. Andi … Andi bisa kemari nak?” ajak Pak Jurli kepada Andi yang dari
tadi baru sadar banyak tamu yang hadir di rumahnya.
“Kemari
nak, berhenti dulu belajarnya ya. Ibu ada perlu” kata Bu Darsih dengan
halus.
“Pak
Jurli dan Bu Darsih. Saya harap Bapak dan Ibu tidak menolak pemberian rasa
terima kasih saya. Kalau berkenan, Pak Jurli dan Bu Darsih memberikan
kesempatan saya untuk membantu semua keperluan sekolah anak bapak dan ibu
hingga sarjana. Bila perlu nanti kalau sudah lulus sarjana bisa membantu
perusahaan kami. Dan yang terakhir, berikan saya kesempatan untuk memberikan
rumah baru buat Bapak di kawasan Banyumanik. Kebetulan rumah itu baru dibuat
dan tidak ada yang menempati. Itu rejeki Bapak dan Ibu yang tiak boleh ditolak”
kata pak Budiman sambil berlinang ari mata.
“Ya
Allah ….Terima kasih banyak Tuan” kini Pak Jurli dan Bu Darsih yang diikuti
dengan Andi bersimpuh di hadapan pak Budiman yang disaksikan oleh pak Rahim dan
Pak Zandi. Keduanya pun tak sanggup menahan air mata.
“Sudah-sudah
… Bapak, Ibu” jawab pak Budiman sambil membangunkan badan Pak Jurli dan Bu
Darsih. Ditatap wajah Pak Jurli dan Bu Darsih serta Andi dengan tajam dan
senyuman. Sesekali pak Budiman harus menghapus air mata yang hampir menetes.
Betapa bahagianya hari ini. Bukan karena bisnis dan uangnya terselamatkan, tapi
karena jiwa kejujuran yang ada pada sosok orang yang ada di depannya.
“Kami
mengucapkan banyak terima kasih Tuan telah membantu kami” kata Pak Jurli
sambil merangkul pak Budiman.
“Bukan
bapak yang berterima kasih kepada kami. Tapi justru kamilah yang berterima
kasih kepada bapak. Kejujuran dan kerendahan hati bapak dan ibulah yang membuat
kami tidak bisa menilai dengan apapun. Kami akan atur semuanya tentang sekolah
Andi dan rumah bapak dan ibu” jawab pak Budiman meyakinkan Pak Jurli
dan Bu Darsih.
Kini senyum getir yang selalu mengembang
pada diri Pak Jurli dan Bu Darsih dalam menghadapai kenyataan hidup berbuah
rasa manis yang tiada terhingga. Berkat kejujuran dan rajin beribadah yang
dilakukannya setiap saat mendapatkan ganjaran yang tidak terhingga. Sang Malaikat
penyelamat pun datang melalui musibah yang hampir merenggut jiwanya. Allah Maha
Pemurah dan Penyayang. Kini Pak Jurli dan Bu Darsih bisa tersenyum bahagia
karena menempati rumah barunya yang mewah di kawasan Banyumanik. Mereka tidak
lagi bingung akan masa depan anak semata wayangnya.
“Terima
kasih ya Allah atas kemurahanMU” lantunan doa Pak Jurli dalam
sholatnya. Di hadapannya, Bu Darsih dan
Andi pun ikut tersenyum gembira. Senyum Pak Jurli sungguh manis…. Kejujuran
memang pahit, tetapi indah pada akhirnya.
Denpasar, 1 Mei 2016
Post a Comment for "Cerita Pendek (Cerpen) dari Kota Semarang"