High Carbon Stock (HCS) Approach Toolkit Version 2.0
High Carbon Stock (HCS) Approach Toolkit Version 2.0,
Metodologi Global Tunggal Untuk Melindungi
dan Mempraktikkan Nihil Penebangan Hutan
Apa yang anda rasakan saat berteduh di bawah
pohon nan rindang? Anda akan merasakan ketenangan karena hembusan angin.
Apalagi, angin yang bertiup sepoi-sepoi membuat kita mudah mengantuk. Kondisi
tersebut disebabkan karena kandungan
oksigen yang dilepaskan oleh proses fotosintesis tumbuhan nan rindang tersebut membuat
badan kita menjadi segar kembali. Lantas, apa yang kita rasakan jika bumi kita
tanpa tumbuhan? Sebuah kondisi yang perlu kita renungkan lebih dalam.
Kita perlu menyadari bahwa kondisi tumbuhan
yang jumlahnya begitu luas (baca: hutan) adalah hal penting yang perlu dijaga
kelestariannya. Perlu diketahui bahwa hutan kita merupakan rumah dan
perlindungan terakhir bagi kekayaan dunia. Bahkan, hutan merupakan tempat yang
nyaman bagi 12 persen spesies mamalia, 7,3 persen spesies reptil dan ampibi,
serta 17 persen spesies burung dari seluruh dunia. Tidak dipungkiri bahwa hutan
di Indonesia yang begitu luas memegang peranan penting dalam menjaga kestabilan
iklim dunia melalui proses fotosintesis tumbuh-tumbuhannya.
Jika kita peduli tentang hutan maka kenyataan
tentang kondisi hutan Indonesia sungguh membuat detak jantung kita naik turun
lebih cepat. Betapa tidak, data dari Kementerian Kehutanan Republik Indonesia
mencatat sedikitnya 1,1 juta hektar atau 2% dari hutan Indonesia mengalami penyusuta
setiap tahunnya. Ini setara dengan berkurangnya luasan hutan sebanyak 51
kilometer persegi per hari. Yang lebih miris adalah hanya sekitar 130 juta
hektar hutan yang tersisa di Indonesia. Sedangkan, kurang lebih 42 juta hektar hutan
telah ditebang.
Banyak hal yang membuat hutan semakin
menyusut jumlahnya seperti penebangan liar (illegal
logging), alih fungsi hutan menjadi perkebunan, kebakaran, dan eksploitasi
hutan. Bisa dibayangkan apa yang akan terjadi jika lahan hutan semakin
menyempit. Rekor yang membuat kita terpana adalah predikat yang diperoleh dari Guinness Books of Record edisi 2008 yang
mencatat bahwa dari 44 negara yang masih memiliki hutan, Indonesia adalah
negara yang paling cepat mengalami kerusakan hutan.
Penebangan hutan secara
liar (Sumber: greenpeace.org)
Sudah banyak pelaku yang tertangkap tangan
dengan dakwaan melakukan perusakan hutan, baik perorangan maupun
perusahaan/korporasi. Sayang, mereka tidak jera untuk mengulanginya kembali.
Salah satu andil terbesar perusakan hutan adalah akibat dari operasional
perusahaan perkebunan yang membuat kondisi hutan menjadi bopeng. Alih fungsi lahan menyebabkan perusakan hutan secara masif tak mampu terbendung. Apalagi,
perusahaan besar yang mempunyai dana besar dan mempunyai lobi-lobi ke
pemerintah pusat tak mampu tersentuh hukum. Mereka merajalela merusak hutan di
mana-mana. Dampaknya telah kita lihat dan rasakan beberapa tahun belakangan
yaitu kebakaran hutan, banjir, longsor dan lain-lain. Jadi, tangan manusialah
yang sejatinya membuat kondisi hutan menjadi tandus.
Kebijakan Nihil Penebangan Hutan
Berbagai musibah yang disebabkan karena
akibat dari penebangan atau penggundulan hutan mengetuk hati dari beberapa
perusahaan yang peduli akan kelangsungan hidup hutan Indonesia. Kebijakan untuk
tidak melakukan penggundulan hutan atau penebangan hutan secara liar (No Deforestation) akhirnya menjadi
sebuah komitmen perusahaan. Komitmen untuk melindungi hutan dilatarbelakangi
oleh perusahaan besar minyak kelapa sawit Golden
Agri-Resources (GAR) dan anak perusahaannya PT SMART Tbk pada tanggal 9 Pebruari 2011 dengan mengeluarkan
Kebijakan Konservasi Hutan (Forest
Conservation Policy). Kebijakan tersebut menjadi cetak dasar tentang tidak dilakukannya
aksi penebangan hutan (Deforestation
Footprint) guna melindungi keanekaragaman hayati dan kawasan karbon.
Untuk menjadikan hasil yang lebih maksimal terhadap perlindungan hutan
maka perlu adanya kerjasama lintas perusahaan dan pemangku kepentingan. Oleh
sebab itu, dibentuklah HCS Approach
Steering Group yang fokus
terhadap kelestarian hutan. Perlu diketahui bahwa HCS Approach Steering Group adalah sebuah organsiasi yang terdiri dari berbagai
pemangku kepentingan yang dibentuk tahun 2014 untuk mengelola sebuah metodologi
yaitu: High Carbon Stock (HCS) Approach atau Pendekatan Stok Karbon Tinggi (SKT). Lebih
dalam lagi, Steering Group (SG) dibentuk agar dapat mengawasi pengembangan
selanjutnya dari metodologi tersebut, termasuk penyempurnaan terhadap definisi,
objektif, dan hubungan dengan pendekatan-pendekatan lainnya, untuk
menghentikan praktik penggundulan hutan (deforestation).
Adapun, perusahaan yang tergabung dalam HCS Approach Steering Group (update bulan
Mei 2017) adalah:
1.
Asian Agri
2.
Asia Pulp & Paper
(Executive Committee)
3.
BASF
4.
Conservation International
5.
Daemeter
6.
EcoNusantara
7.
Forest Heroes
8.
Forest Peoples Programme
(Executive Committee)
9.
Golden Agri-Resources
(Executive Committee)
10.
Golden Veroleum (Liberia)
Inc.
11.
Greenpeace (Executive
Committee)
12.
Mighty
13.
Musim Mas
14.
National Wildlife
Federation
15.
New Britain Palm Oil Ltd.
16.
Proforest
17.
P&G
18.
Rainforest Action Network
(Executive Committee)
19.
Rainforest Alliance
20.
TFT (Executive Committee)
21.
Unilever (Executive
Committee)
22.
Union of Concerned
Scientists
23.
Wilmar International Ltd.
(Executive Committee)
24.
WWF (Executive Committee)
Kebijakan tentang
konservasi hutan bukan hanya bermula saat HCS Approach Steering Group dibentuk
tetapi berlangsung secara kontinyu demi perlindungan hutan. Pada tanggal 29 Maret
2016, Kelompok Kerja Konvergensi HCS bertemu di Singapura untuk berkomitmen
pada tujuan, proses, dan pekerjaan tingkat tinggi. Pertemuan tersebut sebagai
langkah tindaklanjut sesi pertama pada pertemuan bulan Oktober 2015 lalu.
Kelompok Kerja Konvergensi HCS terdiri dari anggota Komite Eksekutif HCS dan
perusahaan tambahan yang berpartisipasi dalam pengembangan HCS dan metodologi. Mereka menyatakan komitmennya untuk
bekerja sama mengembangkan peraturan tunggal yang koheren guna menerapkan komitmen perusahaan terhadap "No Deforestation"
dalam operasi dan rantai pasokan kelapa sawit.
Dari pertemuan di
Singapura tersebut, anggota yang hadir mengkaji hasil studi yang menggambarkan
tentang perbedaan kedua metodologi di lapangan serta menyetujui proses dan
rencana kerja di tahun 2016, yaitu:
1. Konsensus
mengenai elemen fundamental dari metodologi HCS, termasuk ambang batas hutan
dan karbon di bawah tanah, pengambilan keputusan di "Hutan Regenerasi Muda"
dan perlindungan sosial;
2. Jalur
integrasi kelembagaan HCS dengan sistem yang ada dengan tata kelola yang
tepat;
3. Peta
jalan (Roadmaps) untuk menyelesaikan
masalah yang menonjol melalui proses kolaboratif dan jika diperlukan
dilakukannya uji coba lapangan, termasuk:
a. Pendekatan
untuk memperkirakan dan mengelola dampak karbon keseluruhan dari keputusan
penggunaan lahan;
b. Aturan
penerapan metodologi HCS di wilayah hutan tinggi;
c. Penerapan
metodologi HCS kepada produsen kecil;
d. Menjamin
perlindungan lahan HCS dan di sekelilingnya.
Pada tanggal 1 April
2016, Komite Eksekutif HCS Approach Steering Group dan perwakilan dari Komite
Manajemen Jaringan Sumber Daya Nilai Konservasi Tinggi/High Conservation Value Resource Network (HCVRN) mengadakan
pertemuan kembali di Singapura untuk membahas langkah selanjutnya berkaitan
dengan jaminan kualitas bersama untuk penilaian High Carbon Value/Nilai Karbon Tinggi (HCV) dan High Carbon Stock/Stok Karbon Tinggi (HCS),
pedoman penilaian HCV-HCS bersama di masa mendatang dan potensi untuk rumah
institusional bersama untuk HCS Approach dan HCV.
Setelah satu tahun
bekerja secara intensif, Kelompok Kerja Konvergensi HCS mengadakan pertemuan di
Bangkok tanggal 8 November 2016 yang mencapai kesepakatan mengenai konvergensi
antara pendekatan HCS Approach dan HCS+. Pertemuan tersebut juga menyetujui sebuah
prinsip tunggal yang koheren untuk mengimplementasikan komitmen perusahaan
terhadap "No Deforestation" dalam operasi dan rantai pasokan kelapa
sawit mereka. Bahkan, salah satu kesepakatan dari pertemuan adalah melakukan integrasi
secara fungsional dan kelembagaan HCS dengan HCV Resources Network dan
dibuatnya peta jalan (roadmaps) untuk
menyelesaikan masalah yang menonjol melalui proses kolaboratif. Sedangkan, organisasi
dan pemangku kepentingan yang mencapai kesepakatan adalah:
1. Asian
Agri
2. Cargill
3. Forest
Peoples Programme
4. Golden
Agri-Resources (GAR)
5. Greenpeace
6. IOI
Corporation
7. KLK
Berhad
8. Musim
Mas
9. Rainforest
Action Network
10. Sime
Darby
11. TFT
12. Unilever
13. Union
of Concerned
14. Scientists
15. Wilmar
International
16. WWF
Peristiwa penting menuju
kebijakan “No Deforestation” juga
ditandai dengan sebuah tonggak utama yang terjadi pada tanggal 16 November 2016.
Pada saat itu, 7 (tujuh) negara benua Afrika telah menandatangani TFA 2020 Marrakesh, yaitu: Deklarasi untuk
Pembangunan Berkelanjutan Sektor Kelapa Sawit di Afrika (Declaration for the Sustainable Development of the Oil Palm Sector in
Africa) pada Konferensi Perubahan Iklim PBB/ The UN Climate Change Conference (COP22) di Maroko. Melalui
deklarasi tersebut, peserta sepakat untuk menempatkan keberlanjutan, hak asasi
manusia dan kolaborasi dengan industri, masyarakat adat dan kelompok masyarakat
sipil di pusat industri kelapa sawit yang sedang berkembang di Afrika.
Selanjutnya, hal menarik adalah peristiwa yang
terjadi pada tanggal 20 Februari 2017, yaitu: saat bank asal Inggris HSBC meluncurkan
tentang Revisi Kebijakan Komoditas
Pertanian. HSBC memperkuat kebijakannya tentang kelapa sawit dan
berkomitmen memperluas bisnis yang dilarangnya, sehingga sejalan dengan
kebijakan No Deforestation, No Peat and
No Exploitation (NDPE), yang semakin banyak diadopsi oleh perusahaan
terkemuka yang bergerak di sektor minyak kelapa sawit. Kemudian, kebijakan
tersebut diperluas ke tahap penyulingan dan pedagang.
High Carbon Stock (HCS)
Approach
Untuk melindungi dan melakukan konservasi
hutan secara berkesinambungan, maka diperlukan sebuah metodolgi yang bisa dipakai
di mana saja. Dan, tentunya metodologi telah dikaji
secara ilmiah dan berlaku secara global. Bukan itu saja, metodologi juga bersifat
tunggal yang bisa dipakai untuk panduan dalam melakukan perlindungan dan
mempraktikkan nihil penebangan liar (No Deforestation). Selanjutnya, metodologi yang telah teruji
selama bertahun-tahun dikenal dengan nama Pendekatan
Stok Karbon Tinggi (SKT) atau High
Stock Carbon Approach (HCS Approach).
Oleh sebab itu, HCS Approach merupakan sebuah metodologi praktis pertama yang telah diuji dan
dikembangkan di berbagai konsesi aktif di Asia dan Afrika dengan masukan dari
berbagai pemangku kepentingan. Pendekatan tersebut sebagai alat yang relatif sederhana sehingga
perusahaan perkebunan dapat menggunakannya untuk melakukan pembangunan baru
yang dalam waktu yang bersamaan dapat menjamin bahwa hutan dilindungi dari
konversi atau alih fungsi lahan. Keuntungan dengan menggunakan HCS Approach adalah mampu membedakan antara area-area hutan
yang perlu dilindungi dengan lahan-lahan yang memiliki kadar karbon dan
keanekaragaman hayati yang rendah sehingga dapat diolah.
HCS Approach dikembangkan dengan tujuan untuk
memastikan sebuah pendekatan yang praktis, transparan, kuat, dan terjamin
secara ilmiah, yang dapat diterima semua kalangan untuk mengimplementasikan
komitmen-komitmen dalam menghentikan penggundulan hutan tropis (No Deforestation). Metodologi tersebut
juga nantinya bisa menjaga agar hak-hak dan mata pencaharian masyarakat lokal
tetap dihormati. HSC Approach yang berlaku secara global sangat bermanfaat untuk
melindungi hutan alam dan mengidentifikasi lahan-lahan yang dapat diolah
sebagai areal produksi komoditas secara bertanggung-jawab.
Kontribusi HCS Approach bisa kita lihat di akun twitternya @Highcarbonstock. Perlu
diketahui bahwa HCS Approach pada mulanya dikembangkan Golden Agri-Resources (GAR) yang berkolaborasi dengan Greenpeace dan The Forest Trust
(TFT) pada tahun 2011-2012. Selanjutnya, sejak November
2016, HCS Approach mencakup konvergensi dengan hanya satu metodologi yang
berlaku secara global. Kita juga bisa menonton tayangan tentang High Carbon Stock Approach di tayangan You Tube berikut ini:
The High Carbon Stock
Approach (English version)
(Sumber: HCS Approach, 2017)
HCS Appproach Toolkit Versi
2.0
HCS
Approach Toolkit merupakan sebuah terobosan bagi
berbagai perusahaan, masyarakat, institusi, dan praktisi teknis yang memiliki
komitmen bersama untuk melindungi hutan alam yang tengah mengalami regenerasi.
Padahal, hutan alam tersebut menyediakan cadangan karbon penting, habitat bagi
keanekaragaman hayati dan mata pencaharian bagi masyarakat lokal. Toolkit juga juga merupakan upaya kolaborasi
bersama antara perusahaan, Non Government Organization (NGO), dan
organisasi pendukung teknis, untuk
menghasilkan sebuah pendekatan yang
dapat diterapkan secara luas kawasan
hutan tropis di dunia.
HSC Approach
Toolkit telah diterbitkan dalam 2
(dua) versi. Baik versi 1 maupun
versi 2 tersebut terdiri dari 7 bab. Versi pertama dari HCS Approach Toolkit
telah dirilis pada bulan April 2015 lalu. Bab-bab yang terdapat dalam HCS
Approach Toolkit Versi 1.0 bisa anda lihat pada gambar berikut ini:
Konten HCS Approach Toolkit Versi 1.0
(Sumber: HCS Approach Toolkit Versi 1.0)
Sedangkan, HCS Approach
Toolkit Versi 2.0 merupakan
versi baru yang telah disempurnakan. Versi tersebut telah dirilis pada saat pertemuan
HCS Steering Group di Bali, Indonesia tanggal 3 Mei 2017 lalu. Toolkit tersebut
mencakup penelitian ilmiah terbaru, evaluasi dari percobaan lapangan dan topik
dari berbagai kelompok kerja HCS Approach Steering Group. HCS Approach Toolkit Versi 2.0 juga menyajikan penyempurnaan,
penambahan dan perubahan penting pada metodologinya sebagai hasil dari
kesepakatan konvergensi (Convergence
Agreement) antara HCS Approach dan HCS Study, pada November 2016.
HCS Approach
Toolkit Versi 2.0 merupakan
buku panduan yang akan memberikan panduan para praktisi
melalui berbagai tahap pengidentifikasian hutan SKT (Stok Karbon Tinggi), mulai
dari menghormati hak adat dan tanah masyarakat, mengintegrasikan antara Nilai
Konservasi Tinggi/NKT (HCV), hutan SKT dan Persetujuan atas dasar informasi di
awal tanpa paksaan/Free, Prior and
Informed Consent (FPIC), mengidentifikasi hutan dan vegetasi, membuat
analisis dan perlindungan patch hutan SKT hingga adanya jaminan kualias dari
penilaian SKT.
Pertemuan HCS Approach di Bali. 3 Mei 2017
(Sumber:
cybertokoh.com)
Pada pertemuan HCS Approach di Bali, menjadi ajang
terbaik untuk menyikapi tentang meningkatnya kekhawatiran akan dampak
pembabatan hutan alam tropis terhadap iklim, satwa, dan hak-hak masyarakat yang
mengantungkan hidupnya pada hutan. Kekhawatiran tersebut bukan tanpa
alasan, karena pembabatan hutan yang tidak bertanggung jawab telah mendera di
negara-negara yang mempunyai kawasan hutan, termasuk Indonesia.
“Membiarkan deforestasi atau pembabatan hutan alam demi perkebunan sudah merupakan suatu hal di masa lalu. Hari ini, kami meluncurkan sebuah toolkit dengan metodologi yang memberikan panduan teknis yang praktis dan terbukti kuat secara ilmiah, untuk mengidentifikasi dan melindungi hutan alam tropis” (Grant Rosoman, co-chair dari HCS Approach Steering Group).
HCS Approach Toolkit Versi 2.0 diluncurkan atas kinerja dari berbagai organisasi dan pemangku kepentingan yang peduli akan kelestarian hutan. Mereka khawatir akan dampak pembabatan hutan alam tropis terhadap iklim, satwa dan hak-hak masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada hutan. Dan, terpenting adalah untuk mendukung hak-hak dan mata pencaharian masyarakat lokal, menjaga kadar karbon hutan dan keanekaragaman hayati serta kegiatan pengembangan terhadap lahan-lahan olahan secara bertanggung-jawab. Versi tersebut merupakan satu-satunya pendekatan global yang bermanfaat luas untuk menerapkan praktek No Deforestation. Apalagi, dengan diterapkannya teknologi baru termasuk penggunaan LiDAR (Light Detection and Ranging), maka metodologi tersebut mampu mengoptimalisasi konservasi dan hasil produksi serta dapat diadaptasi bagi petani-petani kecil.
Grant Rosoman, co-chair dari HCS Approach
Steering Group
(Sumber: You Tube HCS Approach/Screenshoot)
HCS Approach Toolkit Versi
2.0 didominasi dengan warna hijau muda, putih dan biru tua. Setiap bab atau
modul berbeda tampilan gambar sampulnya, tergantung fokus masalah yang dibahas.
Berbeda dengan versi sebelumnya, maka versi baru ini merupakan revisi yang
telah dikaji secara ilmiah dan mendalam.
Beberapa modul yang ada di HCS Approach
Toolkit Versi 2.0
(Sumber: HCS Approach Toolkit Versi 2.0)
Yang menarik dari toolkit vesi terbaru adalah diawali
dengan perlindungan hutan dengan menghormati hak masyarakat atas tanah mereka
dan atas Persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan/Free, Prior and Informed Consent (FPIC)
dalam konteks HCS Approach. Kita menyadari bahwa hampir semua ekosistem terestrial di wilayah tropis berpenghuni
dan menyediakan mata pencaharian untuk beragam kelompok sosial, yang sering
kali disebut sebagai masyarakat hukum
adat dan masyarakat lokal. Faktanya, justru masyarakat hukum adat yang
benar-benar menjaga kelestarian hutan meskipun mereka menganut gaya hidup nomaden atau berpindah-pindah.
Sedangkan, kaum pendatang secara mayoritas malah merusak hutan dengan melakukan
alih fungsi lahan.
Itulah perlunya kita
menghormati hak-hak masyarakat adat agar mereka tidak merasa tersingkir. Sebuah
gambaran yang perlu diambil oleh perusahaan untuk mengintegrasikan hal-hal
dalam proses Stok Karbon Tinggi (SKT). Saat perusahaan mencoba mendapatkan
kawasan hutan melalui pembelian atau hak sewa (izin konsesi) dari pemerintah,
mereka harus mengambil langkah guna memastikan keberlangsungan hak dan mata
pencaharian masyarakat adat. Tidak dapat dipungkiri bahwa kegiatan komersial
yang direncanakan perusahaan seperti perusahaan perkebunan berpotensi
melemahkan atau menggangu ekosistem setempat serta sistem pemanfaatan lahan
sebelumnya dikarenakan:
1. Alokasi
lahan dan sumber daya untuk perkebunan tidak dapat dipungkiri akan mengurangi
atau tumpang tindih dengan lahan yang tersedia bagi masyarakat lokal untuk
pemanfaatan lainnya;
2. Infrastruktur
baru seperti jalan, jembatan dan membuka wilayah desa terhadap pemanfaatan
sumber daya yang semakin intensif dan komersial, baik oleh masyarakat setempat
maupun pendatang;
3. Perusahaan
baru menarik pekerja dan penduduk lainnya pindah ke lokasi tersebut untuk
mendapatkan pekerjaan dan terlibat dalam kegiatan komersial lainnya, sehingga
terjadi persaingan atas pekerjaan dan sumber daya dengan masyarakat lokal;
4. Lebih
jelas lagi, apabila tanah dan hutan masyarakat diambil alih tanpa perencanaan
konsultatif yang memadai, tanpa menghormati hak masyarakat atau tanpa
persetujuan dari mereka, maka perkebunan yang dipaksakan dapat mengancam mata
pencaharian masyarakat, menciptakan konflik sosial yang serius, dan menyebabkan
penyalahgunaan lingkungan.
Aktifitas perusahaan perkebunan berpotensi merusak
ekosistem
pada pemanfaatan lahan (Sumber: HCS Approach Toolkit Versi 2.0)
pada pemanfaatan lahan (Sumber: HCS Approach Toolkit Versi 2.0)
HCS
Approach juga dirancang dengan melakukan integrasi
(penggabungan) antara Nilai Konservasi Tinggi (NKT) atau High Conservation Value (HCV), Stok Karbon Tinggi (SKT) atau High Carbon Stock (HCS) dan Persetujuan
atas dasar informasi di awal tanpa paksaan/Free,
Prior and Informed Consent (FPIC).
Sebagai informasi bahwa High Conservation Value (HCV) sendiri dirancang
untuk menjaga lingkungan dan nilai sosial pada produksi lansekap. HCV
berdasarkan 6 nilai yaitu: 1) keanekaragaman spesies; 2) lansekap-tingkat
ekosistem; 3) ekosistem atau habitat yang jarang; 4) perbaikan ekosistem yang
kritis; 5) kebutuhan mata pencaharian komunitas; dan 6) nilai budaya.
Sedangkan, integrasi antara
ketiga hal penting tersebut agar bisa diimplementasikan secara baik setelah
melewati 8 (delapan) tahap penilaian (assessment)
yaitu: sebelum penilaian (pre-assesment), penilaian (assessment) dan setelah penilaian (post-assesment). Setelah melewati beberapa tahapan tersebut maka
integrasi bisa diterapkan sebagai perlindungan, manajemen dan monitoring
terhadap hutan.
Kondisi hutan yang ada di
dunia khususnya Indonesia mempunyai keanekaragaman kondisi. Oleh sebab itu,
pendekatan SKT perlu adanya stratifikasi (pengelompokan) vegetasi dan hutan yang ada. Dengan melakukan
pengelompokan tersebut dapat diperoleh ambang batas hutan (HCS Threshold) yang mempunyai Stok Karbon Tinggi, hutan regenerasi,
semak belukar dan lahan terbuka. Pengelompokan
vegetasi dan hutan menunjukan bahwa ambang batas bagi hutan SKT potensial
berada di antara kelas Hutan Regenerasi Muda (HRM) atau Young Regeneration Forest (YRF) dan Belukar (B).atau Scrub (S).
(Sumber: HCS Approach Toolkit
Versi 2.0)
Tentunya, tidak mudah
untuk melakukan pengelompokan vegetasi dan hutan. Tetapi, dengan melalui
beberapa tahapan dan teknologi maju maka proses tersebut bisa dilakukan. Dengan melalui 2 (dua) fase maka kondisi
hutan SKT bisa dianalisa secara lengkap. Diagram tahapan pengelompokan vegetasi
dan hutan bisa dilihat pada diagram di
bawah ini:
hutan SKT (Sumber: HCS Approach Toolkit
Versi 2.0)
Hal yang perlu
diperhatikan dalam penggunaan citra satelit yang digunakan dalam proses pengelompokan
vegetasi dan hutan harus dipastikan terlebih dahulu bahwa citra sesuai dengan
cakupan kawasan yang dikaji, serta memperhatikan resolusi yang tepat baik temporal maupun spasial dan berkaitan dengan kajian yang dilakukan. Perlunya menyusun
katalog citra dari citra multi-temporal
untuk mendapatkan serangkaian subset
citra berkualitas baik untuk analisis dalam wilayah kajian. Oleh sebab itu, disarankan
untuk mendapatkan citra Landsat-8
multi-temporal dalam waktu berdekatan (dalam satu atau dua periode
kunjungan satelit di lokasi yang sama).
Lebih lanjut, guna
menghindari pengaruh sudut matahari atau kondisi atmosfer dari citra multi-temporal, maka setiap subset citra harus dianalisis dan
diklasifikasi secara terpisah. Setelah citra yang paling baik telah dipilih
kemudian citra tersebut dipotong agar
mencakup hanya wilayah kajian saja. Untuk mengklasifikasi hutan yang dijumpai
di dalam konsesi dengan cara terbaik, wilayah kajian sebaiknya mencakup lansekap
seluas mungkin karena klasifikasi dilakukan menggunakan jumlah penutupan tajuk
dan perhitungan stok karbon relatif dalam konteks lansekap. Sebagai contoh, petak
(patch) hutan dalam suatu konsesi
yang sebagian besar terdegradasi
dengan keberadaan SKT potensial yang kecil harus dibandingkan dengan lansekap
hutan lain yang lebih luas.
Salah satu citra satelit
tentang lahan hutan (Sumber: USGS)
Penggunaan dataset
LiDAR (Light Detection and Ranging)
merupakan terobosan dalam penggunaan citra satelit. Dan, pemilihan citra
satelit yang akan digunakan dalam proses pengelompokan vegetasi dan hutan harus
dipastikan bahwa citra memberikan cakupan area penilaian yang memadai sambil
memberikan preferensi terhadap
resolusi temporal dan spasial yang sesuai dengan penilaian. Oleh
sebab itu, hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pemilihan citra satelit adalah
sebagai berikut:
1. Gambar
seharusnya tidak lebih dari 12 bulan dan memiliki resolusi minimal 10 meter.
2. Data
harus berkualitas yang cukup untuk analisis dengan tutupan awan kurang dari 5%
di Area of Interest (AOI), tanpa
kabut lokal yang minimal atau sangat minim.
3. Ketersediaan
data atau pita spektral yang membantu menentukan kanopi dan ketinggian
vegetasi, kesehatan tutupan vegetasi dan kepadatan vegetasi di lahan harus
dipertimbangkan.
4. Gambar
resolusi rendah seperti Landsat 8
dengan resolusi 30 meter dapat digunakan sebagai data tambahan yang
dikombinasikan dengan gambar beresolusi tinggi utama, mis. Untuk memanfaatkan
resolusi spektral yang lebih tinggi. Penggunaan Landsat sebagai sumber data gambar utama hanya diizinkan, jika
tidak ada gambar resolusi tinggi yang tersedia, atau dapat diperoleh.
Setelah gambar dipilih dan distandarisasi, maka
langkah selanjutnya adalah mengelompokkan tutupan lahan menjadi kelas homogen
untuk menunjukkan potensi kawasan Hutan Stok Karbon Tinggi (SKT). Adapun, tujuan
utama dari proses ini adalah untuk membedakan:
1. Hutan
dengan Kepadatan Rendah, Menengah, dan Tinggi (LDF, MDF, HDF);
2. Hutan
Regenerasi Muda (HRM) atau Young
Regeneration Forest (YRF);
3. Hutan
bekas yang terdegradasi dan terdegradasi termasuk Scrub (S) dan Lahan Terbuka atau Open Land (OL); dan
4. Area
Non-HCS seperti jalan, badan air, dan permukiman.
(Sumber: HCS Approach Toolkit Versi 2.0)
Setelah melewati
proses pengelompokan vegetasi dan hutan dengan menggunakan citra satelit maka
perlu adanya analisis mendalam untuk melakukan perlindungan terhadap hutan Stok
Karbon Tinggi (SKT) termasuk di dalamnya
patch hutan berukuran kecil agar
dapat dilindungi dalam jangka menengah atau panjang. Oleh sebab itu, di saat
yang bersamaan harus diakui bahwa patch
hutan berukuran kecil sekalipun dapat berperan sebagai habitat atau
konektivitas penting ke habitat lain serta sebagai penyimpan karbon, khususnya
pada lansekap dengan tutupan-tutupan hutan yang rendah. Itulah sebabnya, HCS
Approach sebagai metodologi berbasis ilmiah, pihak pemangku kepentingan
terhadap Pendekatan SKT mengacu ke arah penelitian ilmu konservasi perlu
memberikan informasi mengenai indikator kualitas patch hutan.
Stok Karbon Tinggi (Sumber: HCS Approach Toolkit
Versi 2.0)
Hasil akhir dari
beberapa proses HCS Approach adalah memberikan jaminan kualitas (Assuring the Quality) kawasan hutan SKT.
Perlindungan hutan akan mengalami tantangan yang besar di masa mendatang.
Namun, dengan kesadaran yang tinggi dari berbagai pihak untuk memahami panduan
dari HCS Approach Toolkit Versi 2.0 maka mempraktikkan No Deforestation sangat mudah untuk diwujudkan.
(Sumber: HCS Approach Versi
2.0)
Akhirnya, HCS
Approach Toolkit Versi 2.0 merupakan metodologi yang digunakan sebagai panduan
praktis yang bersifat global tunggal perlu diterapkan oleh berbagai pihak untuk
melakukan perlindungan terhadap kawasan hutan. Ketika di masa lalu hutan diolah
secara tidak bertanggung jawab yang berdampak buruk terhadap kehidupan manusia
dan ekosistem maka kehadiran metodologi tersebut merupakan penyelamat hutan
agar aksi deforestasi tidak terjadi
lagi. Ya, kesadaran besar muncul setelah kerusakan hutan berbanding lurus
dengan dampak negatif terhadap kehidupan manusia. Save the forest, Putting No Deforestation!
Referensi
:
2 comments for "High Carbon Stock (HCS) Approach Toolkit Version 2.0"